Cerpen

AH – IH –UH

Oleh: Sahman Sabirin
Aku masih ingat kejadian yang akan diceritakan dalam cerita ini. Ketika itu aku masih kelas dua SMP berarti tiga puluh tiga tahun yang lalu. Aku sangat senang dengan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Dulu, mata pelajaran IPA itu dibuat unit per unit. Ada Unit Air, Unit Api, Unit Udara, dan sebagainya.
Guru IPA kami  yang menjadi wali kelas dua A menerangkan Unit Udara. Tentu saja dipelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan sifat-sifat udara.
“Apakah di ruangan ini ada udara?” tanya  pak guru mengawali materi pelajaran IPA.
“ Ada, Pak! “ jawab kami serempak. Teman yang mengantuk pun tersentak. Pantas saja ada YANG mengantuk karena menjelang istirahat kedua pukul 10.30. Biasanya sehabis jajan, mulut mulai menguap.
“Apa alasan kalian bahwa di sini ada udara?” tanya pak guru lagi.
“ Terasa dingin, Pak!” jawab ketua kelas tegas. Siswa yang lain mengiyakan.
“Bagus!” pak guru menganguk-angguk tanda senang bahwa siswanya merespon.
“Jadi, sifat udara itu adalah …. “ pak guru menghentikan kata-katanya agar dilanjutkan oleh siswanya.
“Tidak kelihatan!” anak-anak melanjutkan atau melengkapi kalimat yang diucapkan pak guru.
Kemudian pak guru menunjukkan botol kosong kepada kami, seraya bertanya,
“Apakah dalam botol ini ada udara?” pak guru menunjuk kepadaku yang waktu itu sedang menguap. Sebelum menjawab, aku tuntaskan dulu menguapku sambil kututup mulutku kawatir teman-teman mencium bau udara yang keluar dari mulutku. Maklum aku doyan petai. Ayahku punya pohon petai. Malah aku juga sering disuruh jualan petai keliling kampung. Sampai sekarang petai membikin aku nikmat makan.
“Ada, Pak!” jawabku singkat sambil senyum karena ingat ulahku tadi. Aku mengantuk berat. Mungkin karena semalam aku belajar IPA kawatir ulangan. Ada isu dari teman akan ada ulangan. Maklum kalau tidak ada ulangan aku tak pernah menghafal. Malas! Pantas, nilai ulangan siswaku jelek-jelek.
“Jangan mengantuk lagi, ya!” pak guru menasihatiku. Aku menjawab dengan anggukan, bahasa kerennya dengan body language.
“ Tadi, kalian katakan bahwa udara ada di ruangan ini. Apakah terlihat oleh kalian? Kalau terlihat warnanya bagaimana?” pak guru menunjuk kepada wakil ketua kelas yang menoleh temannya. Rasain!
“ Saya tidak melihat udara di kelas ini, Pak! Jadi, udara tidak dapat dilihat oleh saya,Pak!” jawab wakil ketua kelas dengan kalimat yang bolak-balik. Pak guru tertawa geli mendengar jawaban wakil ketua kelas itu. Begitu juga kami. Wakil ketua kelas pun tertawa juga, malah paling nyaring. Dia siswa yang senang melucu. Dia pun tidak mudah tersinggung.
“Marilah kita lanjutkan. Apakah udara ini berbau?” pak guru menunjuk bendahara. Aku masih ingat nama bendahara itu, cantik, sih. Dulu ketika di SMP, sekarang mungkin sudah jadi nenek karena sudah punya cucu. Biasanya perempuan cepat menikah apalagi dia cantik.
“Udara tidak berbau, Pak! Udara pun tidak berwangi, Pak!” jawab bendahara, si putih cantik itu.
Pak guru mengatakan, bahwa berbau dalam bahasa Indonesia artinya memiliki bau busuk dan bau wangi. Lain dengan bahasa Sunda. Bau dalam bahasa Sunda, artinya bau busuk. Jadi, cukup dikatakan bahwa udara tidak berbau. Bendahara mengiyakan, juga kami semua. Maklum dalam bahasa Sunda kan lain makna  bau itu. Cuma bermakna bau busuk atau bau yang tidak mengenakkan hidung bahkan paru-paru.
Aku mengacungkan tangan kanan. Sebab kalau mengacungkan tangan kiri tidak sopan kata pak guru.
“Ada apa, Liem?” tanya pak guru kepadaku.
“Menurut pendapat saya, udara itu berbau, Pak!” guru dan teman-teman bereaksi keras kepadaku.
“Anak-anak, bersabar! Coba apa alasanmu kemukakan agar Bapak dan teman-temanmu mengerti!” pak guru memohon keteranganku sambil menunjukku dengan lima jari. Sopan nian!
“Coba tenang semuanya! Pasang hidung kita baik-baik!” kataku kepada teman-teman. Ketua kelas protes karena merasa  hidungnya sudah terpasang sejak dulu, tidak perlu dipasang lagi sekarng. Ada-ada saja.
“Oh, ya, benar,Pak! Udara memiliki bau!” kata teman sebangkuku, si Kosim.
“Bau! Bau! Bau! Ah! Ih! Uh!” teman sekelas berteriak sambil memencet hidungnya. Ada yang berteriak,” Siapa yang buang gas, tidak sopan!” yang teriak begitu tidak terhitung.
“Tenang anak-anak! Kita harus bersyukur bahwa hidung kita masih bisa mencium bau, masih bisa membaui!” pak guru menenangkan para siswa sambil menutup hidungnya dengan saputangan yang bau juga, eh yang wangi. Maaf. (Masakan sapu tangan guru bau apek).
Bau busuk itu tidak berhenti, malah semakin santer menusuk hidung hingga ke paru-paru. Teman-temanku yang perempuan bukan teman perempuanku ada yang keluar kelas karena tak tahan. Untunglah bel istirahat berbunyi. Kami berhamburan keluar ada yang menuju kantin, ada yang menuju wc. Aku menuju perpustakaan karena tak punya uang. Dulu, aku belum pernah dapat royalty karena tulisanku belum laku dijual.
Ternyata, yang bau busuk itu memang kotoran manusia. Kasihan, temanku yang satu yang kurahasiakan namanya BAB di celana. Makanya, sekarang aku sudah menjadi guru kalau sakit BAB tidak pergi tugas. Aku takut BAB di celana. Idiih malu. Nanti siswa-siwaku mendengus “Ah-ih-uh!”#
Ditulis ketika  sakit BAB di Jaticempaka, 7 Desember 2008
Cerpen ini sudah dipublikasikan oleh majalah Gema Widia Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar