ANGIN SEGAR ATAU PUTING BELIUNG?
Pada
hari Selasa tanggal 25 November 2008, kita (baca: guru) memperingati Hari Guru
Republik Indonesia ke-63, yang
sekarang populer PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Kita patut bersyukur ke Hadirat Tuhan Yang
Mahaadil yang telah menguatkan iman para guru di republik tercinta ini sehingga
mereka tetap eksis.
Pada
hari itu terdengar nyanyian pemberi semangat untuk guru, yang judulnya Hymne Guru, karya Sartono - Beliau
seorang guru honorer yang hingga kini belum menjadi PNS atau pegawai negeri
sipil ketika ditayangkan oleh sebuah televisi swasta pada bulan yang lalu.
Entahlah nasibnya sekarang, mudah-mudahan lebih baik. Kendati begitu, Beliau tetap semangat
mengabdikan diri dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Kini buah pikirannya
direvisi. yang semula tertulis pada akhir lagu: “Pahlawan tanpa tanda jasa”
menjadi “Pahlawan pembangun insan cendekia”. Perubahan lirik itu, selain
sebagai upaya peningkatan kesejahteraan guru, juga menunjukkan perubahan peran
guru sebagai tenaga pengabdi menjadi pekerja profesional. (Baca: Kompas, edisi Senin,
24 November 2008).
Jelaslah,
jika guru sebagai pekerja profesional
harus selalu meningkatkan mutu keilmuan dan keterampilan. Di pundak gurulah
anak bangsa ini harus diselamatkan. Maka itu, yang kita perlukan setiap saat
adalah keikhlasan dari para guru di samping semangat juang dalam mentransfer
ilmu dan memberikan teladan kepada anak didik. Mudah-mudahan tindakannya tidak
selalu berorientasi kepada materi.
Kita
semua mungkin ada yang pernah
menyaksikan tayangan tentang demo para guru honorer di tanah air kita ini.
Mereka menuntut agar diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil, ada juga yang meminta
dinaikkan kesejahteraannya karena mereka menginginkan agar dalam melaksanakan
tugas mendidik dan mengajar anak didiknya menjadi pekerja professional. Mereka
ingin meningkatkan mutu. Ingin pula memberikan panganan yang bergizi kepada
sanak keluarganya. Jika mereka hanya diberi honor yang rentangnya seratus ribu
rupiah sampai lima
ratus ribu rupiah per bulan berarti jasa mereka yang sangat tinggi itu hanya
dihargai dengan honor di bawah UMR (Upah
Minimum Regional). Sungguh menyakitkan
hati. Jangankan mereka bisa
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi sesuai tuntutan undang-undang
Guru dan Dosen, dana sebesar itu buat
beli panganan untuk keperluan sebulan saja masih nombok. Maka pantaslah banyak guru yang bekerja
sambilan (nyambi) untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau guru sudah nyambi, maka sudah tidak
professional lagi. Sudah pasti waktu untuk menyelesaikan administrasi
kegiatan belajar mengajar terganggu. Sebab, tugas guru di luar jam kerja itu
sangat banyak. Penulis pernah mendengar seseorang berkata, bahwa jadi guru itu
sangat enak karena jam kerjanya hanya 24 jam per minggu. Kenyataannya, setelah
sampai di rumah guru itu harus menyiapkan tuntutan administrasi pembelajaran
untuk esok harinya, serta mempersiapkan mental agar di depan siswanya tampil
prima.
Perlu
diketahui, bahwa di DKI Jakarta ada dua ribu orang guru honorer murni di sekolah negeri. Di
seluruh Indonesia
ada 50.000 guru honorer di sekolah negeri.itu pun mungkin yang tercatat saja. (Baca:
Kompas,25 Nov 2008). Entahlah berapa jumlah guru honorer seluruhnya jika
digabung dengan guru honorer di sekolah swasta. Ternyata, di negara yang kita
cintai ini masih kekurangan guru negeri. Kalau tidak ditunjang oleh guru honorer yang super ikhlas itu, apa jadinya dunia
pendidikan kita ini. Apa jadinya anak bangsa yang dicalonkan untuk menuju masa
depan bangsa ini kelak? Sungguh suatu keprihatinan bagi kita semua. Sudah
saatnya pemerintah memrioritaskan nasib para guru.
Penulis
mengajak para pembaca untuk mengingat
dan mengapresiasi jasa guru; karena setiap orang pasti mempunyai guru. Guru pun
mempunyai guru pula. Kita semua berguru. Tanpa berguru kita tidak akan bisa
apa-apa. Maka selayaknyalah apresiasi terhadap jasa guru ditingkatkan. Apresiasi
tidak berupa materi saja. Bersikap sopan santun kepada guru sudah merupakan
apresiasi yang tak ternilai. Aprsiasi yang sekarang dilakukan pemerintah adalah mengadakan sertifikasi untuk
meningkatkan mutu guru dan dosen; sudah barang tentu meningkatkan
kesejahteraannya sekaligus. Selain itu pula
pemerintah akan mendanai para guru untuk menempuh jenjang strata satu
dengan kemudahan-kemudahan agar mutu pendidikan meningkat. Itulah angin segar
buat sang guru.
Di
samping angin segar yang selalu dihembus-hembuskan oleh Menteri Pendidikan Nasional dan jajarannya, juga ada angin puting beliung yang menimpa guru (baca: sebagian guru).
Mereka guru yang usianya sudah mencapai lima puluh tahun lebih, yang sebentar lagi pensiun, namun
belum dipanggil untuk sertifikasi padahal memenuhi syarat antara lain berpendidikan
strata satu, usia sudah lima
puluh tahun lebih, jumlah jam mengajar terpenuhi, melebihi syarat minimal.
Rekan-rekannya yang seusia bahkan yang berusia di bawahnya
sudah menikmati tunjangan profesional sebesar satu kali gaji setiap
bulannya.
Selain
guru yang berpendidikan strata satu, ada lagi rekan guru yang belum
berpendidikan strata satu. Diploma dua dan diploma tiga. Mereka ingin sekali meningkatkan mutu
pendidikannya, namun dana yang menjadi hambatan. Tambahan pula letak geografis
yang menjadi penghambat. Sungguh suatu pukulan yang telak bagaikan diterpa
angin puting beliung di siang bolong. Untunglah jiwa guru melekat dalam hati
sanubarinya. Mereka tetap melaksanakan tugas dengan baik kendati keadaan ekonomi keluarganya tidak dihidupi
dengan gaji yang besarnya di bawah UMR.
Marilah
rekan-rekan guru, kita tingkatkan semangat dalam mencerdaskan anak bangsa walaupun
penuh onak dan duri dalam menempuh perjalanan tugas kita. Kita harus cerdas
dalam kemampuan akademik, keterampilan, dan dalam tindakan sehingga kita serta
anak didik kita menjadi manusia beriman dan bertakwa. Jika sudah terbentuk
manusia beriman dan bertakwa, insyaallah negara ini menjadi damai dan
sejahtera. Kita tanamkan dalam diri kita dan anak didik kita budaya malu. Malu
kalau tidak disiplin dan tidak menjalankan tugas dengan baik.
Kita
sebagai guru agar selalu tegar walaupun tunjangan profesional belum diberikan
bagi yang sudah lulus sertifikasi tahun 2007 dan 2008; juga walaupun belum
dipanggil untuk sertifikasi padahal sudah memenuhi syarat. Kita terima dengan jiwa
besar, mudah-mudahan hal seperti itu menjadikan obat untuk bangkit dalam menuju
kebaikan pendidikan di negara tercinta ini.
Angin
puting beliung yang lain adalah cemoohan dari siswa, wali atau orang tua siswa
yang jika guru melakukan salah sedikit saja terhadap siswanya, orang tua
bisa-bisa mengadu ke Komnasham, Komnas Perlindungan Anak, ke polisi, ke pejabat
di atas guru, dimuat di internet bahkan ada pula yang mengadu ke preman. Kali
ini kami memohon kepada Bapak/Ibu orang
tua atau wali siswa yang sempat membaca tulisan ini, jika guru berbuat salah
terhadap putra/putri Bapak/Ibu, tegurlah guru itu agar mereka tahu kesalahan yang diperbuatnya
sehingga tidak mengulang-ulang kesalahan lagi dalam kegiatan belajar mengajar
dengan anak-anak didiknya. Jika langkah hal itu ditempuh, maka akan terjadi komunikasi dan interaksi antara orang
tua-siswa-guru.
Sejak
dulu dunia Umar Bakri tak pernah sepi. GURU masih merupakan sebuah
singkatan dari G=garam; U=untuk; R=rakyat; U=umum. Semua orang perlu garam,
tapi harga garam tetap murah. Sama dengan guru, masih diperlukan tapi tetap
dihargai murah. Tuntutan yang ditujukan kepada guru adalah kata “guru” yang
merupakan sebuah akronim dari “ digugu” dan “ ditiru”. Dituruti dan diteladani. Sebuah harapan bagi insan
beriman. Mudah-mudahan ke depannya “guru” bukan merupakan
singkatan dari: G= gajihnya kecil sehingga
tidak cukup untuk biaya hidup sebulan; U=Usaha lain tidak punya dana; R= rumah
pun masih ada yang mengontrak; U=umumnya hidup miskin.
Terakhir,
mudah-mudahan dengan adanya tunjangan profesional yang membuat kecemburuan itu kesejahteraan
guru meningkat walaupun bukan berasal dari pemerintah. semangatnya meningkat karena berbekal
cita-cita yang luhur. Semoga dunia guru dan dunia pendidikan ada dalam
kesejahteraan pada umumnya bukan sebuah utopis.
Jaticempaka, 27
November 2008
SAHMAN SABIRIN
Guru di SDN Cipinang Melayu 03 Pagi, Jakarta TimurArtikel ini sudah dipublikasikan di majalah Gema WidiaKarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar